Banyak
pelajaran yang bisa kita ambil dari pengalaman hidup, baik itu pengalaman hidup
pribadi maupun orang lain. Orang Jawa menyebut belajar pada pengalaman orang
lain itu sebagai “kaca benggala”. Nah, kini kita belajar pada pengalaman dari
Kanjeng Sunan Kalijaga. Ketika itu, Kanjeng Sunan Kalijaga yang juga dijuluki
Syech Malaka berniat hendak pergi ke Mekkah. Tetapi, niatnya itu akhirnya
dihadang Nabi Khidir. Nabi Khidir berpesan hendaknya Kanjeng Sunan Kalijaga
mengurungkan niatnya untuk pergi ke Mekkah, sebab ada hal yang lebih penting
untuk dilakukan yakni kembali ke pulau Jawa. Kalau tidak, maka penduduk pulau
Jawa akan kembali kafir. Bagaimana wejangan dari Nabi Khidir pada Kanjeng Sunan
Kalijaga? Hal itu tercetus lewat Suluk Linglung Sunan Kalijaga. Inilah kutipan
wejangannya:
Birahi ananireku,
aranira Allah jati.
Tanana kalih tetiga,
sapa wruha yen wus dadi,
ingsun weruh pesti nora,
ngarani namanireki
Timbullah
hasrat kehendak Allah menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu
menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada
dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya
berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.
Sipat jamal ta puniku,
ingkang kinen angarani,
pepakane ana ika,
akon ngarani puniki,
iya Allah angandika,
mring Muhammad kang kekasih.
Adapun
sifat jamal (sifat terpuji/bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha
menyebutkan, bahwa pada dasarnya adanya dirinya, karena ada yang mewujudkan
adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi
Kekasih-Nya.
Yen tanana sira iku,
ingsun tanana ngarani,
mung sira ngarani ing wang,
dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,
aranira aran mami.
Kalau
tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada
kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu
dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya
Dzatku.
Tauhid hidayat sireku,
tunggal lawan Sang Hyang Widhi,
tunggal sira lawan Allah,
uga donya uga akhir,
ya rumangsana pangeran,
ya ALLOH ana nireki.
Tauhid
hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah, baik
di dunia maupun di akherat. Dan kamu merasa bahwa Allah itu ada dalam dirimu.
Ruh idhofi neng sireku,
makrifat ya den arani,
uripe ingaranan Syahdat,
urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,
rukuk pamore Hyang Widhi.
Ruh
idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat
(kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk
berarti dekat dengan Tuhan pilihan.
Sekarat tananamu nyamur,
ja melu yen sira wedi,
lan ja melu-melu Allah,
iku aran sakaratil,
ruh idhofi mati tannana,
urip mati mati urip.
Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal
(sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakratulmaut, dan
jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut
itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak akan mati; Hidup mati, mati
hidup.
Liring mati sajroning ngahurip,
iya urip sajtoning pejah,
urip bae selawase,
kang mati nepsu iku,
badan dhohir ingkang nglakoni,
katampan badan kang nyata,
pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,
Syekh Malaya (Sunan Kalijogo) den padhang sira
nampani,
Wahyu prapta nugraha.
Mati
di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi.
Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad
yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma mukhsa. Jelasnya
mengalami kematian! Syeh Malaya (S.Kalijaga), terimalah hal ini sebagai
ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.
Dari
wejangan tersebut kita bisa lebih mengenal GUSTI ALLAH dan seharusnya manusia
tidak takut untuk menghadapi kematian. Disamping itu juga terdapat wejangan
tentang bagaimana seharusnya semedi yang disebut “mati sajroning ngahurip” dan
bagaimana dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar